Senin, 22 April 2019

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI WAHANA ALTERNATIF DILEMA PENDIDIKAN


PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI WAHANA ALTERNATIF  DILEMA PENDIDIKAN
Oleh: Mariatul Ulfa

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas))

            Melihat dari rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang dipaparkan diatas menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sudah lebih dari enam dasa warsa negeri ini merdeka, cita-cita tersebut serasa masih jauh dari harapan. Mencermati dinamika kehidupan bangsa Indonesia dalam modernisasi dan reformasi di era globalisasi dewasa ini, terasa terjadinya pergeseran nilai yakni melunturnya nilai-nilai luhur bangsa. Moralitas bangsa dewasa ini, terasa sudah sampai pada tingkat yang meresahkan, yang ditandai dengan penyimpangan perilaku yang tergolong amoral, sebagai mana sering disuarakan dalam media massa baik cetak maupun elektronik. Melalui media massa tersebut masyarakat dapat melihat semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi publik seperti korupsi, tindak asusila, kekerasan, pencurian, pembunuhan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif adalah sebagian kecil dari permasalahan yang dihadapi publik. Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta berikut: Dari hasil riset yang dilakukan dalam Trasnparency International Corruption Perception Index 2009, menempatkan indeks prestasi Indonesia hanya 2,8 yang artinya Indonesia masih termasuk Negara yang dipersepsikan korup di dunia. Disisi lain terkait dengan penyalah gunaan narkotika, dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantaranya mereka pertama kali mencoba narkoba pada usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (sumber: Republika online, 26/06/2009)
            Pendidikan yang dibangun puluhan tahun yang lalu ternyata masih belum bisa membentuk kualitas sumber daya manusia (SDA) yang berkarakter, kreatif dan mumpuni dibidangnya. Bahkan bisa dikatakan kualitas SDM yang lahir dari proses pendidikan saat ini justru cenderung menurun. Hal ini dibuktikan oleh salah satu survey yang dikeluarkan oleh politicaland economic risk consultancy (PERC) pada tahun 2010, yakni bahwa Indonesia adalah pelanggar HKI ( Hak Kepemilikan Intelektual) tertinggi di Asia yaitu dengan skor 8.5 dari rentang skor 0 hingga 10. Meskipun trennya menurun dari tahun 2002 hingga tahun 2006, namun kemudian rentangnya naik kembali dari tahun 2006 hingga 2010, bahkan melonjak drastic dari tahun 2009 hingga 2010 dengan selisih skor mencapai 0.95.
Fenomena banyaknya permasalahan yang dihadapi publik yang dipaparkan diatas sebetulnya, siapa yang patut dipersalahkan dan mesti bertanggungjawab?
Pendidikan merupakan salah satu solusi alternatif yang bersifat preventif, sehingga diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi pemuda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi berbagai masalah yang dihadapi publik. Realitanya dunia pendidikan yang sampai saat ini dipercaya sebagai pencetak manusia-manusia intelektual serta berkarakter baik, ternyata sedang dirundung banyak persoalan. Proses pendidikan di Sekolah ternyata masih mengutamakan aspek kognitifnya ketimbang afektif dan psikomoriknya. Hal ini disebabkan karena adanya dilematis pendidikan yang diakibatkan kesalahan dalam memaknai mendidik dan mengajar peserta didiknya.
Ulfa (25 tahun) adalah satu dari guru di Kertosono yang mengikuti BIMTEK tentang pendidikan karakter yang diadakan di kabupaten Nganjuk. Tidak ada motivasi lain untuknya ketika bergabung dalam dunia kependidikan kecuali ingin menjadi guru yang profesional yang tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik siswa-siswanya. Dalam beberapa kali pelaksaan BIMTEK kurang lebihnya saat menjelang tahun ajaran baru kemarin, Pembina peserta BIMTEK pendidikan karakter bertanya tentang apa perbedaan antara mendidik dan mengajar. Pembina tersebut, dengan nada sangat semangat dan mimik serius, bertanya kepada kami satu per satu sampai hampir keseluruhan peserta dikelas. Acapkali, raut-muka jumawa tergurat di paras sang pembina lantaran tidak satu pun dari kami sanggup mengutarakan jawaban secara memuaskan. Saat itu kami sebagai peserta bimtek pun semakin bingung bercampur penasaran dengan jawaban yang benar mengenai perbedaan dari kata mendidik dan mengajar. Setelah tidak satu pun dari kami yang bisa menjawab pertanyaan secara memuaskan  beliau biasanya akan membocorkan jawaban dengan bersemangat yang disertai senyum yang ramah: “ jadi begini, mendidik dilakukan dalam rangka membentuk manusia baru, sementara mengajar hanya sebatas transfer pengetahuan (transfer of knowledge). Mendidik akan mengembangkan aspek yang mencakup kognitif, afektif dan psikomotor sehingga akan melahirkan manusia yang bertanggungjawab, jujur dan berintegritas tinggi. Sedangkan mengajar hanya berorientasi pada aspek kecerdasan atau intelektual semata sementara aspek etika dan moralitas terabaiakan.
Dari pemaparan makna mendidik dan mengajar diatas jelaslah, terdapat perbedaan mencolok terkait substansi yang bakal diterima seorang siswa. Dengan dididik, siswa akan memperoleh lebih dari sekadar pengetahuan baru, tidak hanya knowledge saja tetapi siswa juga akan memperoleh Attitute dan Skill. Terutama, mendapat nilai-nilai moral luhur yang menjadikannya beberapa tingkat lebih tinggi ketimbang manusia lain.
Namun rupanya, atmosfer pendidikan negara ini masih didominasi oleh guru-guru yang berperspektif mengajar bukan mendidik. Buktinya ditunjukkan oleh tingginya angka kejahatan yang justru dilakukan oleh pelajar. Menurut Budi Darma, kegagalan pendidikan selama ini terjadi karena titik berat pendidikan mengalami paradigma baru yaitu bergeser makna pendidikan menjadi pengajaran. Kurikulum sebagai jantung pendidikan (curriculum is the heart of education) di Sekolah justru lebih banyak berkuat pada pengoptimalan pengajaran bukan pendidikan, dimana aspek pendidikan yang bergeser kearah pengoptimalan aspek kognitif dari pada afektif dan psikomotor. Seakan-akan ranah kognitif yang mendominasi dan menjadi penentu keberhasilan seseorang. Dalam hal ini siswa dipaksa “harus bisa” sehingga ada kecenderungan anak dipaksa belajar terlalu dini, inilah yang membuat siswa menjadi stress, karena ada ketidak sesuaian dengan dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu sedang dialaminya. Indikator pergeseran paradigma yang mengesampingkan masalah aspek afektif dan psikomotor dalam pendidikan formal, yang membebankan pada penanaman aspek afektif dan psikomotor secara holistic melalui berbagai mata pelajaran yang lebih mengandalkan munculnya nurturant effect dibanding intruck sional effect. Sehingga dampak yang muncul dari kondisi ini adalah adanya indicator menyempitnya wawasan pendidikan, menjadi sebuah pengajaran yang menitik beratkan pada penguasaan materi saja. Hal ini pula yang memicu terjadinya sumber kerawanan bagi siswa: untuk melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan lain-lain, karena siswa merasa terlalu terbebani dan stress.
Manusia  adalah seekor binatang yang bergantung pada jejaring makna yang ditenunnya sendiri, demikian Max Weber pernah berujar. Meski, barangkali, kita tidak sepakat dengan Weber yang menyamakan manusia laiknya hewan, tidak dapat dipungkiri, manusia memang seringkali terjerat dari stereotip-stereotip ciptaannya sendiri. Di kala pendidikan nasional terkena isu miring tentang dilema pendidikan yang diakibatkan pergeseran paradigma mendidik menjadi mengajar, para tokoh pendidikan dan pemerintah menggelorakan kembali slogan besar: Pendidikan Karakter. Hal ini seakan-akan menjadi oase nan menyejukkan. Melalui Pendidikan karakter inilah diharapkan dapat mematahkan stereotip dominan yang salah kaprah. Stereotip yang berbunyi bahwa keberhasilan suatu pendidikan hanya ditentukan aspek kognitif yakni kecerdasan atau intelektual semata. Memang patut diakui bahwa sebagai mana tertuang dari data US Department Health and Human Services tahun 2000 terungkap bahwa faktor kegagalan siswa di Sekolah, termasuk putus sekolah adalah rendahnya rasa percaya diri dan rasa keingin tahuan, ketidak mampuan mengontrol diri, rendahnya motivasi, kegagalan bersosialisasi, ketidak mampuan bekerja sama, dan rendahnya rasa empati siswa. Yang mencengangkan yang bertolak belakang dengan keyakinan kita selama ini, sukses seseorang ternyata lebih banyak (80%) ditentukan oleh kecerdasan emosi, sedangkan sisanya (20%) oleh kecerdaan kognitif (IQ).
Dengan demikian DPR meminta pemerintah menjadikan pendidikan karakter sebagai kurikulum di Sekolah, dan harus dijalankan dengan porsi lebih banyak praktik dari pada teori di dalam kelas. Sebagaimana ditegaskan Komisi X DPR-RI: “ Pendidikan karakter tidak hanya sebatas disampaikan dalam teori, tetapi pendidikan karakter harus lebih kepada praktek keseharian siswa menerapkan karakter bangsa, nantinya guru dalam mengajar pendidikan karakter tidak hanya sebatas teori tetapi praktek. Prakteknya seperti membuat ekstra kurikuler atau lainnya. Dengan begitu, pendidikan karakter tidak hanya bicara kuantitatif angka saja. Tetapi pendidikan karakter harus mampu menjadikan peserta didik memiliki moralitas, kompetensi serta menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.” Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota maayarakat dan warga Negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif sebagaimana tercantum pada pedoman pengembangan Budaya Karakter Bangsa 2010. Dari pernyataan tersebut dapat difahami bahwa pendidikan karakter itu terkait dengan kekuatan moral, berkonotasimpositif, bukan netral. Jadi, orang yang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral yang positif. Dengan demikian, pendidikan dapat dikatakan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat yang didasari moral yang positif bukan negatife. Karakter inilah yang menjadi modal yang sangat penting dalam bersaing dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat ditengah-tengah bangsa lain. Dengan pendidikan karakter yang dicanangkan para tokoh pendidikan dan pemerintah inilah masalah dekadensi moral yang dialami oleh publik karena dilemanya pendidikan dari pergeseran paradigma pendidikan yang memaknai peran guru bukan sebagai pendidik tetapi pengajar terjawab sudah.
Dilema pendidikan yang dialami publik yang menyebabkan kegagalan dalam pembentukan karakter bangsa seharusnya dibenahi sedini mungkin. Melalui pendidikan karakter diharapkan terbentuknya kepenasaran intelektual yang selanjutnya akan membentuk kreatifitas bangsa. Bangsa yang inovatif tentunya akan melahirkan kompetisi yang sehat menuju bangsa yang maju. Pendidikan karakter juga menanamkan nilai-nilai keberadaban bangsa dijiwai adat ketimuran. Mari kita kita tingkatkan mutu pendidikan. Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang maju serta beradab ditengah-tengah percaturan dunia dan perkembangan iptek yang sebegitu pesat. Kita pasti bisa. Bravo Guru Indonesia! Bravo Mahasiswa Fakultas Ilmu Kependidikan. Bravo Guru LPI Ar Rahman Kertosono!
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2010. Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan pelatihan penguatan metodelogi pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa:Kementerian Pendidikan Nasional

Fuad, Miftahul. 2010. Artikel Pendidikan Karakter sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa menuju Bangsa yang Beradap. Kediri.

Soenarko, Bambang. 2010. Konsep Pendidikan Karakter. Kediri. Universitas Nusantara PGRI Kediri.

Hades, Fertob. 2008. Hasrat, Diri, dan Moralitas, Diakses tanggal 25 Maret 2010 dari http://fertobhades.Wordpress. Com

Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter. Diakses tanggal 28 Agustus 2010 dari http://akhmadsudrajad. Wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar