PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI WAHANA
ALTERNATIF DILEMA PENDIDIKAN
Oleh: Mariatul Ulfa
Mahasiswa PGSD kelas II E Universitas
Nusantara PGRI Kediri
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(Undang-Undang
tentang Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas))
Melihat dari rumusan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang dipaparkan diatas menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Sudah lebih dari enam dasa warsa negeri ini merdeka, cita-cita tersebut
serasa masih jauh dari harapan. Mencermati dinamika kehidupan bangsa Indonesia
dalam modernisasi dan reformasi di era globalisasi dewasa ini, terasa
terjadinya pergeseran nilai yakni melunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
Moralitas bangsa dewasa ini, terasa sudah sampai pada tingkat yang meresahkan,
yang ditandai dengan penyimpangan perilaku yang tergolong amoral, sebagai mana
sering disuarakan dalam media massa baik cetak maupun elektronik. Melalui media
massa tersebut masyarakat dapat melihat semakin banyaknya permasalahan yang
dihadapi publik seperti korupsi, tindak asusila, kekerasan, pencurian,
pembunuhan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak
produktif adalah sebagian kecil dari permasalahan yang dihadapi publik. Hal ini
dapat dibuktikan dengan fakta berikut: Dari hasil riset yang dilakukan dalam
Trasnparency International Corruption Perception Index 2009, menempatkan indeks
prestasi Indonesia hanya 2,8 yang artinya Indonesia masih termasuk Negara yang
dipersepsikan korup di dunia. Disisi lain terkait dengan penyalah gunaan
narkotika, dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya
3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantaranya mereka pertama kali
mencoba narkoba pada usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (sumber:
Republika online, 26/06/2009)
Pendidikan yang dibangun puluhan
tahun yang lalu ternyata masih belum bisa membentuk kualitas sumber daya
manusia (SDA) yang berkarakter, kreatif dan mumpuni dibidangnya. Bahkan bisa
dikatakan kualitas SDM yang lahir dari proses pendidikan saat ini justru
cenderung menurun. Hal ini dibuktikan oleh salah satu survey yang dikeluarkan
oleh politicaland economic risk
consultancy (PERC) pada tahun 2010, yakni bahwa Indonesia adalah pelanggar
HKI ( Hak Kepemilikan Intelektual) tertinggi di Asia yaitu dengan skor 8.5 dari
rentang skor 0 hingga 10. Meskipun trennya menurun dari tahun 2002 hingga tahun
2006, namun kemudian rentangnya naik kembali dari tahun 2006 hingga 2010,
bahkan melonjak drastic dari tahun 2009 hingga 2010 dengan selisih skor
mencapai 0.95.
Fenomena banyaknya permasalahan yang dihadapi publik
yang dipaparkan diatas sebetulnya, siapa yang patut dipersalahkan dan mesti
bertanggungjawab?
Pendidikan merupakan salah satu solusi alternatif yang
bersifat preventif, sehingga diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi
pemuda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi
berbagai masalah yang dihadapi publik. Realitanya dunia pendidikan yang sampai
saat ini dipercaya sebagai pencetak manusia-manusia intelektual serta
berkarakter baik, ternyata sedang dirundung banyak persoalan. Proses pendidikan
di Sekolah ternyata masih mengutamakan aspek kognitifnya ketimbang afektif dan
psikomoriknya. Hal ini disebabkan karena adanya dilematis pendidikan yang
diakibatkan kesalahan dalam memaknai mendidik dan mengajar peserta didiknya.
Maria (20 tahun) adalah satu dari mahasiswa S1
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang masih mengenyam pendidikan di
Universitas Nusantara PGRI Kediri, yang tepatnya masih semester empat. Tidak
ada motivasi lain untuknya ketika bergabung dalam menjadi mahasiswa
kependidikan kecuali ingin menjadi guru yang profesional yamg tidak hanya
mengajar tetapi juga mendidik siswa-siswanya. Dalam beberapa kali kesempatan
kuliah kurang lebihnya pada semester dua S1 PGSD, dosen saya bertanya tentang
apa perbedaan antara mendidik dan mengajar. Dosen tersebut, dengan nada sangat semangat
dan mimik serius, bertanya kepada kami satu per satu sampai hampir keseluruhan
mahasiswa dikelas. Acapkali, raut-muka jumawa tergurat di paras sang dosen
lantaran tidak satu pun dari kami sanggup mengutarakan jawaban secara
memuaskan. Saat itu kami sebagai mahasiswa pun semakin bingung bercampur
penasaran dengan jawaban yang benar mengenai perbedaan dari kata mendidik dan
mengajar. Setelah tidak satu pun dari kami yang bisa menjawab pertanyaan secara
memuaskan beliau biasanya akan
membocorkan jawaban dengan bersemangat yang disertai senyum yang ramah: “ jadi
begini, mendidik dilakukan dalam rangka membentuk manusia baru, sementara
mengajar hanya sebatas transfer pengetahuan (transfer of knowledge).
Mendidik akan mengembangkan aspek yang mencakup kognitif, afektif dan
psikomotor sehingga akan melahirkan manusia yang bertanggungjawab, jujur dan
berintegritas tinggi. Sedangkan mengajar hanya berorientasi pada aspek
kecerdasan atau intelektual semata sementara aspek etika dan moralitas
terabaiakan.
Dari pemaparan makna mendidik dan mengajar diatas jelaslah,
terdapat perbedaan mencolok terkait substansi yang bakal diterima seorang
siswa. Dengan dididik, siswa akan memperoleh lebih dari sekadar pengetahuan
baru, tidak hanya knowledge saja tetapi siswa juga akan memperoleh Attitute dan
Skill. Terutama, mendapat nilai-nilai moral luhur yang menjadikannya beberapa
tingkat lebih tinggi ketimbang manusia lain.
Namun rupanya, atmosfer pendidikan negara ini masih
didominasi oleh guru-guru yang berperspektif mengajar bukan mendidik. Buktinya
ditunjukkan oleh tingginya angka kejahatan yang justru dilakukan oleh pelajar.
Menurut Budi Darma, kegagalan pendidikan selama ini terjadi karena titik berat
pendidikan mengalami paradigma baru yaitu bergeser makna pendidikan menjadi
pengajaran. Kurikulum sebagai jantung pendidikan (curriculum is the heart of
education) di Sekolah justru lebih banyak berkuat pada pengoptimalan
pengajaran bukan pendidikan, dimana aspek pendidikan yang bergeser kearah
pengoptimalan aspek kognitif dari pada afektif dan psikomotor. Seakan-akan
ranah kognitif yang mendominasi dan menjadi penentu keberhasilan seseorang.
Dalam hal ini siswa dipaksa “harus bisa” sehingga ada kecenderungan anak
dipaksa belajar terlalu dini, inilah yang membuat siswa menjadi stress, karena
ada ketidak sesuaian dengan dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu
sedang dialaminya. Indikator pergeseran paradigma yang mengesampingkan masalah
aspek afektif dan psikomotor dalam pendidikan formal, yang membebankan pada
penanaman aspek afektif dan psikomotor secara holistic melalui berbagai mata pelajaran yang lebih mengandalkan
munculnya nurturant effect dibanding intruck sional effect. Sehingga dampak
yang muncul dari kondisi ini adalah adanya indicator menyempitnya wawasan
pendidikan, menjadi sebuah pengajaran yang menitik beratkan pada penguasaan
materi saja. Hal ini pula yang memicu terjadinya sumber kerawanan bagi siswa:
untuk melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan lain-lain, karena siswa
merasa terlalu terbebani dan stress.
Manusia adalah seekor
binatang yang bergantung pada jejaring makna yang ditenunnya sendiri, demikian
Max Weber pernah berujar. Meski, barangkali, kita tidak sepakat dengan Weber
yang menyamakan manusia laiknya hewan, tidak dapat dipungkiri, manusia memang
seringkali terjerat dari stereotip-stereotip ciptaannya sendiri. Di kala
pendidikan nasional terkena isu miring tentang dilema pendidikan yang
diakibatkan pergeseran paradigma mendidik menjadi mengajar, para tokoh
pendidikan dan pemerintah menggelorakan kembali slogan besar: Pendidikan
Karakter. Hal ini seakan-akan menjadi oase nan menyejukkan. Melalui Pendidikan
karakter inilah diharapkan dapat mematahkan stereotip dominan yang salah
kaprah. Stereotip yang berbunyi bahwa keberhasilan suatu pendidikan hanya
ditentukan aspek kognitif yakni kecerdasan atau intelektual semata. Memang
patut diakui bahwa sebagai mana tertuang dari data US Department Health and
Human Services tahun 2000 terungkap bahwa faktor kegagalan siswa di Sekolah,
termasuk putus sekolah adalah rendahnya rasa percaya diri dan rasa keingin
tahuan, ketidak mampuan mengontrol diri, rendahnya motivasi, kegagalan
bersosialisasi, ketidak mampuan bekerja sama, dan rendahnya rasa empati siswa.
Yang mencengangkan yang bertolak belakang dengan keyakinan kita selama ini,
sukses seseorang ternyata lebih banyak (80%) ditentukan oleh kecerdasan emosi, sedangkan
sisanya (20%) oleh kecerdaan kognitif (IQ).
Dengan demikian DPR meminta pemerintah menjadikan
pendidikan karakter sebagai kurikulum di Sekolah, dan harus dijalankan dengan
porsi lebih banyak praktik dari pada teori di dalam kelas. Sebagaimana
ditegaskan Komisi X DPR-RI: “ Pendidikan karakter tidak hanya sebatas
disampaikan dalam teori, tetapi pendidikan karakter harus lebih kepada praktek
keseharian siswa menerapkan karakter bangsa, nantinya guru dalam mengajar
pendidikan karakter tidak hanya sebatas teori tetapi praktek. Prakteknya seperti
membuat ekstra kurikuler atau lainnya. Dengan begitu, pendidikan karakter tidak
hanya bicara kuantitatif angka saja. Tetapi pendidikan karakter harus mampu
menjadikan peserta didik memiliki moralitas, kompetensi serta menerapkan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.” Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter
sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
dirinya, sebagai anggota maayarakat dan warga Negara yang religius, nasionalis,
produktif dan kreatif sebagaimana tercantum pada pedoman pengembangan Budaya
Karakter Bangsa 2010. Dari pernyataan tersebut dapat difahami bahwa pendidikan
karakter itu terkait dengan kekuatan moral, berkonotasimpositif, bukan netral.
Jadi, orang yang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral yang
positif. Dengan demikian, pendidikan dapat dikatakan membangun karakter, secara
implisit mengandung arti membangun sifat yang didasari moral yang positif bukan
negatife. Karakter inilah yang menjadi modal yang sangat penting dalam bersaing
dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat ditengah-tengah bangsa lain. Dengan
pendidikan karakter yang dicanangkan para tokoh pendidikan dan pemerintah
inilah masalah dekadensi moral yang dialami oleh publik karena dilemanya
pendidikan dari pergeseran paradigma pendidikan yang memaknai peran guru bukan
sebagai pendidik tetapi pengajar terjawab sudah.
Dilema pendidikan yang dialami publik yang menyebabkan
kegagalan dalam pembentukan karakter bangsa seharusnya dibenahi sedini mungkin.
Melalui pendidikan karakter diharapkan terbentuknya kepenasaran intelektual
yang selanjutnya akan membentuk kreatifitas bangsa. Bangsa yang inovatif
tentunya akan melahirkan kompetisi yang sehat menuju bangsa yang maju.
Pendidikan karakter juga menanamkan nilai-nilai keberadaban bangsa dijiwai adat
ketimuran. Mari kita kita tingkatkan mutu pendidikan. Semoga bangsa ini menjadi
bangsa yang maju serta beradab ditengah-tengah percaturan dunia dan
perkembangan iptek yang sebegitu pesat. Kita pasti bisa. Bravo Guru Indonesia!
Bravo Mahasiswa Fakultas Ilmu Kependidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum. 2010. Pedoman
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan pelatihan penguatan
metodelogi pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya
saing dan karakter bangsa:Kementerian Pendidikan Nasional
Fuad, Miftahul. 2010. Artikel
Pendidikan Karakter sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa menuju Bangsa
yang Beradap. Kediri.
Soenarko, Bambang. 2010. Konsep
Pendidikan Karakter. Kediri. Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Hades, Fertob. 2008. Hasrat, Diri, dan
Moralitas, Diakses tanggal 25 Maret 2010 dari http://fertobhades.Wordpress. Com
Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang
Pendidikan Karakter. Diakses tanggal 28 Agustus 2010 dari http://akhmadsudrajad. Wordpress.com
DATA PRIBADI
Nama : Mariatul Ulfa
Tempat, Tanggal Lahir : Kediri 11 September 1991
NPN : 10.1.01.10.0235
Kelas :
II E
Semester : 4
Alamat Rumah : Desa Semen, Kecamatan
Pagu, Kabupaten Kediri
No. Hp :
085784275273
E-mail :
ulfa.miumiu@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar